Lompat ke isi utama

Berita

PERJUANGAN LEMBAGA BAWASLU SEBAGAI TONGGAK DEMOKRASI DI INDONESIA

Eksistensi Bawaslu pada isu keserentakan penyelenggaraan Pemilihan Umum turut dipertaruhkan dan dievaluasi. Hal tersebut berdampak kepada lembaga penyelenggaraan Pemilu, restrukturisasi kelembagaan penyelenggaraan Pemilu dilakukan, dibentuk lembaga Pemilu yang berlandaskan UU NRI 1945. Pada saat itu, dari segi ketatanegaraan dan segi politik berkonsekuensi perlunya membentuk lembaga penyelenggara Pemilu yang sudah bersifat nasional, tetap dan mandiri seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), dimana lembaga ini memiliki peran untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada. Dalam perjalanan Pemilu di Indonesia, melalui UU nomor 22 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum dibentuklah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Adapun lingkup pengawasan Bawaslu yakni terkait kepatuhan KPU sebagai penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada terhadap segala sesuatu yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan serta kepatuhan peserta Pemilu dan Pilkada dalam melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam setiap penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada.

            Kemudian, Bawaslu secara kelembagaan mengalami penguatan secara bertahap.Pasca amandemen UUD NRI 1945, terhitung ada 4 fase peraturan perundangan-undangan yang menandai penguatan Bawaslu secara kelembagaan. Pertama, melalui UU no 12 tahun 2003, uu ini mengamanatkan Pembentukan lembaga ad hoc yang terlepas dari struktur kelembagaan KPU yang bertugas untuk melaksanakan pengawasan Pemilu. Kedua, melalui UU No 22 /2007 . dalam UU ini Pengawas Pemilu ditingkat Pusat dipermanenkan menjadi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), penguatan kembali terjdi lagi ketika terhadap UU ini dilakukan judicial review , hasilnya melalui putusan MK Nomor 11/PUU-VIII/2010 dinyatakan bahwa rekrutmen pengawas pemilu sepenuhnya menjadi kewenangan dari Bawaslu, dimana sebelumnya rekrutmen menjadi kewenangan dari KPU. Ketiga, melalui UU no 15 tahun 2011, dalam UU ini kelembagaan Bawaslu kembali diperkuat dengan dipermanenkannya Panitia Pengawas Pemilu di tingkat Propinsi menjadi Bawaslu Provinsi, dan secara kewenanganan dalam UU ini Bawaslu diberikan kewenangan untuk menangani sengketa Pemilu. Keempat, UU no 7 tahun 2017, UU ini memberikan dampak besar bagi kelembagaan Bawaslu. Bawaslu diberikan kewenangan yang besar dan signifikan. Secara kelembagaan, Panitia Pengawas Pemilu di tingkat Kabupaten/kota dipermanenkan menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota. Selain itu, jika kemudian dilihat dari kewenangannya, Bawaslu sebagai penyelenggara Pemilu memiliki 3 (tiga) kewenangan besar yaitu kewenangan Pengawasan, kewenangan penindakan pelanggaran pemilu, dan kewenangan untuk mengadili. Hal tersebut yang menjadikan Bawaslu semakin kuat  hingga saat ini. Hal mengenai Bawaslu diatur dalam Bab II Pasal 89 UU no 17 Tahun 2017.

            Menurut UU nomor 7 tahun 2017 pada Bab II pasal 92 keanggotaan Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten /kota terdiri  mengenai atas individu yang memiliki tugas pengawasan penyelenggaraan Pemilu. Yang beranggotakan untuk Bawaslu sebanyak 5 (lima) orang, Bawaslu Propinsi sebanyak 5 (lima) sampai 7 (tujuh) orang, Bawaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) sampai  5 (lima) orang, Panwaslu Kecamatan sebanyak 3 (tiga) orang, Panwaslu kelurahan/Desa sebanyak 1 (satu) orang, Panwaslu LN berjumlah 3 (tiga) orang, pengawas TPS berjumlah 1 (satu) orang setiap TPS. Yang memiliki Tugas, wewenang dan Kewajiban yang dituangkan pada Pasal 93 sampai dengan pasal 117 UU no 7 tahun 2017.

            Bawaslu, Bawaslu propinsi dan Bawaslu Kabupaten Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, Pengawasan TPS bersifat Hierarkis, termasuk Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten / Kota pada satuan pemerintahan daerah ( pemda) yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang, hal ini tertuang pada pasal 89 ayat 3 uu no 7 tahun 2017.

Dinamika penyelenggaran Pemilihan Umum pada Tahun 2019 telah memberikan banyak catatan terhadap seluruh instrument pelaksanaannya Salah satu yang paling banyak mendapatkan catatan adalah regulasi penyelenggaraannya, dalam hal ini berupa undang-undang yang kemudian menjadi pedoman bagi aturan teknis seluruh penyelenggaraan Pemilu. Catatan kritis dan evaluasi terhadap undang-undang tersebut mendorong berbagai pihak untuk menyuarakan revisi terhadap Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagai undang-undang induk penyelenggaaraan Pemilu 2019.

Agenda revisi terhadap Undang-Undang tentang Pemilihan Umum kemudian disambut oleh lembaga legisatif, undang-undang yang mengatur penyelenggaraan pemilihan umum akan ditinjau ulang dan diubah oleh Lembaga Legislatif. Realisasi hal tersebut tercermin dari telah tersusunnya Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) dan resume Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum yang disampaikan oleh Badan Keahlian DPR RI yang berisi konsep perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Dalam hal ini perlunya dibuat regulasi penyelenggaraan Pemilu yang berintegritas dan berkredibilitas serta menjunjung profesionalitas dan kemandirian Lembaga Badan Pengawas Pemilu. Sehingga pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal dilaksanakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia , jujur dan adil setiap lima tahun sekali ( Pasal 22E UUD NKRI 1945).

Penulis : ERINA KARTIKA SARI, SH

 KORDIV HUKUM, HUMAS DAN DATIN BAWASLU KAB DELISERDANG

Tag
Uncategorized